Kita mengetahui bahwa definisi pengendalian intern berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 adalah:
Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Konsep dan proses pengendalian intern dilakukan untuk memastikan tercapainya tujuan organisasi pemerintah. Pengendalian intern itu sendiri terdiri atas lingkungan pengendalian (soft control) seperti penerapan budaya etis, pemberian keteladanan, serta penegakan integritas.
Pengendalian intern juga terwujud dalam aktivitas pengendalian (hard control) berupa aktivitas pemisahan tugas, pengendalian aset hingga aktivitas pengendalian fisik.
Paradigma Pengendalian
Selanjutnya, untuk meningkatkan kualitas implementasi pengendalian intern di organisasi, diperlukan pemahaman mengenai konsep paradigma pengendalian. Apakah yang dimaksud dengan paradigma itu sendiri?
Paradigma adalah pola berpikir dan cara pandang seseorang terhadap sebuah objek atau entitas. Sebagai contoh, paradigma yang umum berlaku di masyarakat bahwa cara terbaik untuk menyembuhkan sakit adalah dengan meminum obat dan berkonsultasi dengan dokter.
Dengan menggunakan definisi tersebut, maka konsep paradigma dalam organisasi adalah pola berpikir dan cara pandang yang dimiliki individu-individu di dalam organisasi ketika mereka menghadapi situasi dan kondisi tertentu. Dalam hal ini, yang utama adalah bagaimana menghasilkan paradigma pengendalian.
Paradigma pengendalian akan terwujud ketika individu-individu dapat menjadikan nilai-nilai dan berbagai macam konsep pengendalian sebagai pola berpikir, pedoman, dan parameter perilakunya ketika mereka menghadapi berbagai macam situasi dan kondisi di dalam organisasi.
Esensi dari internalisasi paradigma pengendalian adalah bagaimana menjadikan konsep pengendalian dapat merasuk ke dalam diri seluruh individu dalam organisasi dan dilaksanakan di dalam praktik kerja sehari-hari.
Melalui paradigma pengendalian yang terinternalisasi dalam diri individu-individu di organisasi, sebuah organisasi pemerintah akan dapat menghasilkan kinerja yang baik dan tujuan organisasi dapat tercapai.
Yaitu, ketika seluruh individu dalam organisasi bersedia melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan sebaik mungkin dan tidak melakukan berbagai penyimpangan.
Soft Control, Focal Point Internalisasi Pengendalian
Ruh atau inti dari internalisasi paradigma pengendalian adalah terletak pada bagaimana mengimplementasikan soft control dengan baik. Mengapa soft control yang menjadi focal point dalam menciptakan dan menginternalisasikan paradigma pengendalian?
Jawabannya karena pemisahan tugas dan pengendalian fisik yang menjadi bukti adanya internalisasi paradigma pengendalian tidak akan berjalan efektif dan kontinu ketika soft control tidak dapat dipahami dan dimaknai dengan sepenuhnya oleh individu-individu dalam organisasi.
The Institute of Internal Auditor Netherlands (2015) menjelaskan bahwa soft controls are about culture and the behaviour of management and employees and their impact on achieving organisational objectives.
Dengan kata lain, soft control adalah tentang budaya dan perilaku yang dilakukan individu-individu di dalam organisasi serta bagaimana dampak perilaku tersebut terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Pertanyaannya adalah mengapa soft control masih sering gagal diimplementasikan dengan baik di dalam organisasi pemerintah?
Destructive Leadership
Salah satu faktor yang menjadi penyebab kegagalan tersebut adalah adanya destructive leadership yang merupakan antitesis dari konsep keteladanan, role model, kepemimpinan yang kondusif, dan penegakan nilai-nilai etika yang harus diawali oleh pimpinan.
Adanya destructive leadership dalam organisasi akan mengakibatkan konsep-konsep pengendalian menjadi diabaikan begitu saja (ignorance of control) atau hanya menjadi konsep-konsep di atas kertas semata namun minim dalam implementasi secara nyata.
Apa itu destructive leadership? Schneider (2021) mendefinisikan konsep destructive leadership sebagai a co-creational process involving a destructive leader, susceptible followers, and a conducive environment.
Tiga hal tersebut merupakan bauran dari apa yang dinamakan sebagai toxic triangle of destructive leadership. Dengan kata lain, destructive leadership adalah sebuah proses yang melibatkan perilaku pimpinan, bawahan, dan kondisi lingkungan.
Dalam hal ini, jenis kepemimpinan seperti ini adalah mengenai bagaimana pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya dan mampu menciptakan ataupun memanfaatkan kondisi lingkungan yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya.
Tujuannya adalah untuk kepentingan pribadi si pemimpin dan/atau bawahannya yang bersifat negatif bagi organisasi atau masyarakat. Di bawah ini adalah unsur-unsur dalam kepemimpinan destruktif menurut Padilla et.al. (2015).
Kebutuhan akan Kekuasaan
Unsur pertama dalam kepemimpinan destruktif adalah sosok pemimpin yang destruktif. Berbagai macam sifat dan perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin destruktif meliputi sifat egois dan merasa paling hebat, narsistik, psikopat hingga perilaku suka mengintimidasi, memaksa, hingga mengancam bawahan dan orang-orang lain. Mereka juga tidak segan untuk mengorbankan bawahan agar dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Apabila kita memakai pemikiran Padilla et.al (2015) maka sosok pemimpin dalam konsep kepemimpinan destruktif akan selalu berusaha memperoleh kekuasaan (personalized needs of power).
Hal ini berhubungan dengan sifat narsistik dan psikopat. Pemimpin yang memiliki kedua sifat tersebut umumnya memiliki paradigma merasa bahwa dirinya adalah sosok super power (grandiosity) dan mampu mengendalikan perilaku orang-orang lain yang berada di bawah kekuasaannya.
Pemimpin destruktif yang memiliki sisi gelap dalam dirinya juga memiliki kemampuan untuk menumbuhkan budaya rasa takut (culture of fear) dalam diri orang-orang yang dipimpinnya.
Ketakutan yang dirasakan dalam diri bawahan ialah bahwa karirnya akan dihambat atau ketakutan bahwa mereka akan memperoleh perlakuan yang tidak menyenangkan dalam bekerja dari pimpinan.
Bawahan yang Mudah Dipengaruhi
Unsur kedua dalam kepemimpinan destruktif adalah bawahan yang mudah dipengaruhi. Faktor yang menjadi latar belakang adalah adanya kebutuhan dalam diri bawahan akan keamanan dalam bekerja, jaminan karir, kebutuhan untuk menciptakan identitas diri dalam organisasi dan kohesi sosial, serta kebersamaan dalam organisasi antara pimpinan dan bawahan (sense of community and belonging).
Kondisi seperti ini akan memunculkan sosok bawahan yang mudah dipengaruhi oleh pimpinan yang destruktif. Bawahan akan mengikuti perintah pimpinan yang destruktif, baik secara sukarela maupun karena adanya paksaan dan ancaman dari pimpinan.
Bandura dalam Kurniawan (2022) menjelaskan bahwa manusia akan belajar mengenai berbagai perilaku, sikap, dan aktivitas tertentu dari orang lain melalui hasil observasi sikap dan perilaku orang lain (vicarious learning) yang menjadi contoh baginya.
Sosok yang menjadi model baginya dapat berasal dari sosok yang memiliki wewenang, sosok yang memiliki kharisma pribadi, atau sosok yang dihormati.
Lingkungan yang Kondusif
Unsur terakhir dalam kepemimpinan destruktif adalah lingkungan yang kondusif, yaitu mengenai interaksi antara pemimpin dan bawahan dalam lingkungan organisasi. Salah satu variabel dalam unsur ini adalah instabilitas.
Dalam kondisi yang tidak stabil, pemimpin destruktif akan mampu menggunakan kekuasaannya untuk membuat keputusan dengan cepat sehingga dapat menstabilkan kondisi genting yang dihadapi, tanpa ada penolakan dan kontrol dari bawahan.
Di sini, bawahan memerlukan sosok pemimpin yang mampu membawa mereka menghadapi krisis yang dihadapi sehingga mereka akan cenderung mematuhi instruksi dan arahan pemimpin, meskipun pemimpin tersebut merupakan sosok pemimpin yang destruktif.
Epilog: Agar Tidak Menjadi Utopia
Agar dapat menginternalisasikan nilai-nilai pengendalian ke dalam diri pemimpin dan bawahan dalam organisasi, sehingga konsep paradigma pengendalian dapat terwujud, maka destructive leadership harus dapat dihilangkan.
Konsep-konsep Sistem Pengendalian Intern Terintegrasi, Reformasi Birokrasi, Zona Integritas, dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani hanya menjadi utopia apabila sosok pemimpin destruktif, para bawahan yang mudah dipengaruhi (melalui bujukan atau ancaman) hingga lingkungan yang kondusif bagi munculnya kepemimpinan destruktif terdapat di dalam organisasi pemerintah.
Ditulis Oleh: Ardeno Kurniawan, S.E., M.Acc., Ak., Auditor Inspektorat Kabupaten Sleman